Ketidaktepatan penjatuhan pemberhentian tersebut terjadi karena dilatarbelakangi ketidakjelasan rumusan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN

Apabila kita membaca literatur mengenai tindak pidana, umumnya yang sering ditemukan adalah mengenai pengertian tindak pidana, syarat menentukan tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana dan lain sebagainya. Untuk lebih paham tentunya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud tindak pidana tersebut. Istilah tindak pidana muncul dalam hukum pidana yang diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP itu sendiri tidak dijelaskan secara gamblang apa itu tindak pidana, yang ada hanyalah para pendapat para ahli yang menafsirkan atau menerjemahkan arti tindak pidana tersebut. Sebagaimana menurut Simons Pengertian Tindak Pidana merupakan tindakan melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Jadi dapat diartikan segala ucapan, tulisan dan perbuatan PNS yang melanggar undang-undang hukum pidana merupakan suatu tindak pidana.

Dengan tidak diatur definisi tindak pidana tentu akan menyulitkan mengartikan apa itu tindak pidana dilakukan dengan berencana. Oleh karena itu pendekatan interpretasi atau penafsiran hukum yang merupakan suatu metode penemuan hukum digunakan karena memberi penjelasan yang jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan mengenai peristiwa tertentu arti kata lain adalah cara mencari arti makna suatu aturan peraturan perundang-undangan. Menurut Kansil dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Hukum pada halaman 36-41 menjelaskan metode interpretasi atau penafsiran hukum terdiri dari beberapa jenis  metode sebagai berikut :

  1. Penafsiran tata bahasa (gramatikal). Penafsiran gramatikal merupakan penafsiran yang menafsirkan ketentuan peraturan perundang-undangan  dengan arti perkataan menurut tatabahasa atau menurut kebiasaan;
  1. Penafsiran sahih (autentik/resmi). Penafsiran autentik merupakan penafsiran yang dilakukan berdasarkan pengertian yang ditentukan oleh pembentuk suatu undang-undang tersebut;
  2. Penafsiran historis dilakukan berdasarkan:
    • Sejarah hukumnya, yaitu berdasarkan history atau asal mula terjadinya hukum tersebut
    • Sejarah undang-undangnya, yaitu dengan menyelidiki maksud pembentuk undang-undang dalam membentuk undang-undang tersebut;

4.  Penafsiran sistematis. Penafsiran sistematis dilakukan dengan meninjau susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang yang sama maupun dengan undang-undang yang lain;

5. Penafsiran nasional. Penafsiran nasional adalah penafsiran yang berdasarkan kesesuaian dengan sistem hukum yang berlaku;

6. Penafsiran teleologis (sosiologis). Penafsiran sosiologis merupakan penafsiran yang dilakukan dengan menimbang maksud dan tujuan dari undang-undang tersebut. Penafsiran sosiologis dilakukan karena terdapat dinamika di masyarakat, namun bunyi undang-undang tidak berubah mengikuti dinamika tersebut;

7. Penafsiran ekstensif. Penafsiran ekstentif adalah penafsiran dengan melakukan perluasan arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan;

8. Penafsiran restriktif. Penafsiran restriktif adalah penafsiran dengan melakukan penyempitan arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan;

9. Penafsiran analogis. Penafsiran analogis adalah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan suatu kiasan atau perumpaan pada kata-kata sesuai dengan asas hukum;

10. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran). Penafsiran a contrario adalah penafsiran yang dilakukan dengan membuat suatu perbandingan perlawanan antara masalah yang dihadapi dengan masalah yang ada dalam undang-undang.

Dari 10 (sepuluh) metode tersebut diatas maka dipilihlah metode interpretasi atau penafsiran sistematis terhadap Ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN. Pendekatan metode interpretasi atau penafsiran sistematis menggunakan penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya, atau membaca penjelasan suatu perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa yang dimaksud. Peninjauan itu sendiri dilakukan terhadap pasal-pasal yang ada didalam peraturan yang sama maupun peraturan yang lain.

Didalam Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN dikemukakan mengenai tindak pidana yang dilakukan dengan berencana. Untuk mengetahui pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan dengan berencana maka kita dapat menghubungkan dengan  ketentuan KUHP. Dalam KUHP kata berencana hanya ditemukan dalam Pasal 185. Penjelasan dalam Pasal 185 KUHP dinyatakan “Barang siapa dalam perkelahian tanding merampas nyawa pihak lawan atau melukai tubuhnya, maka diterapkan ketentuan-ketentuan mengenai pembunuhan berencana, pembunuhan atau penganiayaan”. Jadi dalam hal ini dapat kita simpulkan ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN ditafsirkan secara sistematis dengan menghubungkan ketentuan yang ada dalam Pasal 185 KUHP yang artinya dimaksud tindak pidana yang dilakukan dengan berencana adalah tindak pidana pembunuhan berencana dan tindak pidana penganiayaan berencana.

Semoga kedepannya tidak dijumpai lagi Surat Keputusan Pemberhentian tidak dengan hormat yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN. Tujuannya bukan hanya untuk memastikan terpenuhinya aspek administrasi kepegawaian berjalan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun juga sebagai bentuk memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak PNS tersebut.